BERAKHIRNYA ORDE BARU DAN LAHIRNYA REFORMASI
Orde baru berkuasa selama 32 tahun, hal ini tentu bukan waktu yang
pendek. Lamanya kekuasaan yang dipegang mengakibatkan banyak terjadi
penyelewengan. Antara lain munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tahukah
kamu bagaimana sikap masyarakat menghadapi hal ini. Anak-anak, bagaimanakah
seandainya mesin pompa air dinyalakan terus sedangkan kran air tidak dibuka?
Hal itu tentunya mesin air tersebut akan panas dan ketika dibuka akan terasa
air meledak ke segala arah. Begitu juga Negara Republik Indonesia
tercinta ini ketika di bawah pemerintahan Orde Baru yang sangat lama
memerintah. Maka masalah-masalah bangsa ini dari yang ringan hingga yang berat
bertahun-tahun yang belum teratasi akhirnya menimbulkan kekecewaan masyarakat.
Puncak kekecewaan itu dilampiaskan dalam suatu aksi demonstrasi untuk
menumbangkan kekuasaan Orde Baru. Suatu kekuatan tersebut dimotori oleh para
mahasiswa yang menginginkan suatu perubahan atau reformasi di bidang politik,
ekonomi dan hukum. Bagaimana peristiwa berakhirnya Orde Baru dan lahirnya
Reformasi tersebut akan kita pelajari dalam bab ini. Dengan mempelajari bab ini
tentunya kita akan dapat memahami peran para pelajar ataupun mahasiswa pada
masa lalu dalam menegakkan keadilan. Dengan demikian para pelajar merupakan
bagian penting dari elemen bangsa dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
A Peristiwa-Peristiwa Politik Penting Pada Masa
Orde Baru
1. Tritura (Tri Tuntutan Rakyat)
Aksi yang dilakukan oleh Gerakan 30 September segera diketahui
oleh masyarakat bahwa PKI terlibat di dalamnya. Oleh karena itu berbagai elemen
masyarakat melakukan demonstrasi-demonstrasi menuntut kepada pemerintah untuk
membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya. Akan tetapi pemerintah tidak segera
mengambil tindakan yang tegas terhadap PKI yang telah melakukan pengkhianatan
terhadap bangsa dan negara. Apalagi kondisi ekonomi yang memburuk, harga-harga
membumbung tinggi sehingga menambah penderitaan rakyat. Hal inilah yang
melatarbelakangi munculnya kesatuan-kesatuan aksi. Pada tanggal 25 Oktober 1965
terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Selanjutnya diikuti oleh
kesatuan- kesatuan aksi yang lain, misalnya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh
Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita
Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI). Ketika gelombang
demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin keras pemerintah tidak segera
mengambil tindakan. Oleh karena itu pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI
memelopori kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
mendatangi DPR- GR menuntut Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat yang terkenal
dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Adapun Tri Tuntutan Rakyat itu adalah
sebagai berikut.
a.
Pembubaran PKI.
b. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S / PKI.
c. Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
b. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S / PKI.
c. Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Ketiga
tuntutan di atas menginginkan perubahan di bidang politik, yakni pembubaran PKI
beserta ormasormasnya dan pembersihan kabinet dari unsur G30 S /PKI. Selain itu
juga keinginan adanya perubahan ekonomi yakni penurunan harga.
2. Surat Perintah Sebelas Maret
Aksi untuk menentang terhadap G 30 S /PKI semakin meluas
menyebabkan pemerintah merasa tertekan. Oleh karena itu setelah melakukan
pembicaraan dengan beberapa anggota kabinet dan perwira ABRI di istana Bogor
pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Sukarno akhirnya menyetujui memberikan
perintah kepada Letnan Jenderal Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat dan
Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah.
Surat mandat ini terkenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret 1966
(Supersemar).
3. Sidang Umum MPRS
Sidang
Umum IV MPRS yang diselenggarakan pada tanggal 17 Juni 1966 telah menghasilkan
beberapa ketetapan yang dapat memperkokoh tegaknya Orde Baru antara lain
sebagai berikut.
1) Ketetapan MPRS No. IX tentang Pengukuhan Surat Perintah Sebelas Maret.
2) Ketetapan MPRS No. XXV tentang Pembubaran PKI dan ormasormasnya serta larangan penyebaran ajaran Marxisme- Komunisme di Indonesia.
3) Ketetapan MPRS No. XXIII tentang Pembaruan Landasan Kebijakan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan.
4) Ketetapan MPRS No. XIII tentang Pembentukan Kabinet Ampera yang ditugaskan kepada Pengemban Tap MPRS No. IX.
1) Ketetapan MPRS No. IX tentang Pengukuhan Surat Perintah Sebelas Maret.
2) Ketetapan MPRS No. XXV tentang Pembubaran PKI dan ormasormasnya serta larangan penyebaran ajaran Marxisme- Komunisme di Indonesia.
3) Ketetapan MPRS No. XXIII tentang Pembaruan Landasan Kebijakan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan.
4) Ketetapan MPRS No. XIII tentang Pembentukan Kabinet Ampera yang ditugaskan kepada Pengemban Tap MPRS No. IX.
4.
Nawaksara
MPRS meminta pertanggungjawaban terhadap Presiden Sukarno dalam
Sidang Umum MPRS 1966 atas terjadinya pemberontakan G30 S/ PKI, kemerosotan
ekonomi dan moral. Untuk memenuhi permintaan MPRS tersebut maka Presiden
Sukarno menyampaikan amanatnya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul
Nawaksara (sembilan pasal). Amanat tersebut oleh MPRS dipandang tidak memenuhi
harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijaksanaan
Presiden/Mandataris MPRS mengenai peristiwa G 30 S /PKI serta kemerosotan
ekonomi dan moral. Oleh karena itu MPRS meminta kepada Presiden untuk
melengkapi Nawaksara tersebut. Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno
memberikan pelengkap Nawaksara. Akan tetapi isinya juga tidak memuaskan banyak
pihak. Oleh karena itu DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum tanggal 9
Februari 1967 menolak Nawaksara berikut pelengkapnya. Selanjutnya DPR- GR
mengusulkan kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan
Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan mengangkat Pejabat
Presiden.
Pada tanggal 22 Februari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX, Jenderal Soeharto. Peristiwa penyerahan kekuasaan yang dilakukan atas prakarsa Presiden Soekarno ini merupakan peristiwa penting dalam
Pada tanggal 22 Februari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX, Jenderal Soeharto. Peristiwa penyerahan kekuasaan yang dilakukan atas prakarsa Presiden Soekarno ini merupakan peristiwa penting dalam
upaya mengatasi situasi konflik pada waktu itu. Penyerahan
kekuasaan ini ternyata mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat umum dan
ABRI.
5. Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Indonesia pada masa yang condong kepada salah
satu blok pada masa Demokrasi Terpimpin merupakan pengalaman pahit bagi bangsa
Indonesia. Oleh karena itu Orde Baru bertekad untuk untuk mengoreksi
bentuk-bentuk penyelewengan politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Lama.
Politik luar negeri yang memihak kepada salah satu blok dinyatakan salah oleh
MPRS (kemudian MPR). Indonesia harus kembali ke politik luar negeri yang bebas
dan aktif serta tidak memencilkan diri. Sebagai landasan kebijakan politik luar
negeri Orde Baru telah ditetapkan dalam Tap No. XII/ MPRS / 1966. Menurut
rumusan yang telah ditetapkan MPRS, maka jelaslah bahwa politik luar negeri RI
secara keseluruhan mengabdikan diri kepada kepentingan nasional. Sesuai dengan
kepentingan nasional, maka politik luar negeri RI yang bebas dan aktif tidak
dibenarkan memihak kepada salah satu blok ideologi yang ada. Namun bukanlah
politik yang netral, tetapi suatu politik luar negeri yang tidak mengikat diri
pada salah satu blok ataupun pakta militer. Sebagai wujud dari pelaksanaan
politik luar negeri bebas dan aktif pada masa Orde Baru melakukan langkah-
langkah sebagai berikut.
(1) Menghentikan politik konfrontasi dengan Malaysia setelah
ditandatanganinya persetujuan untuk menormalisasi hubungan bilateral
Indonesia-Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966. Selanjutnya sejak 31 Agustus
1967 kedua pemerintah telah membuka hubungan diplomatik pada tingkat Kedutaan
Besar.
(2) Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 28 September 1966 setelah meniggalkan PBB sejak 1 Januari 1965. Sebab selama menjadi anggota badan dunia, yakni sejak 1950-1964, Indonesia telah menarik banyak manfaatnya.
(3) Indonesia ikut memprakarsai terbentuknya sebuah organisasi kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara yang disebut Association of South East Asian Nations (ASEAN) pada tanggal 8 Agustus 1967.
(2) Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 28 September 1966 setelah meniggalkan PBB sejak 1 Januari 1965. Sebab selama menjadi anggota badan dunia, yakni sejak 1950-1964, Indonesia telah menarik banyak manfaatnya.
(3) Indonesia ikut memprakarsai terbentuknya sebuah organisasi kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara yang disebut Association of South East Asian Nations (ASEAN) pada tanggal 8 Agustus 1967.
6. Pemilihan Umum
Pemilihan Umum pada masa Orde Baru pertama kali dilaksanakan pada
tanggal 3 Juli 1971. Pemilu pada waktu itu berbeda dengan pemilu tahun 1955
karena telah menggunakan sistem distrik bukan sistem proporsional. Dalam sistim
distrik ini partai-partai harus memperebutkan perwakilan yang disediakan untuk
sesuatu daerah. Suara yang terkumpul di suatu daerah tidak dapat dijumlahkan
dengan suatu partai itu yang terkumpul di daerah lain. Pemilu tahun 1977
diikuti oleh 10 kontestan, yakni PKRI, NU, Parmusi, Parkindo, Murba, PNI,
Perti, IPKI, dan Golkar. Dalam pemilu kali ini dimenangkan oleh Golkar. Pemilu
berikutnya dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 yang kali ini diikuti oleh 3
organisasi peserta pemilu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan
Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selanjutnya pemilu-pemilu
di Indonesia selama Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golongan Karya.
7. Sidang MPR Tahun 1973
Dengan
Pemilu I 1971, maka untuk pertama kali RI mempunyai MPR tetap, yakni bukan
MPRS. Pimpinan MPR dan DPR hasil Pemilu I adalah Idham Chalid. Selanjutnya MPR
ini mengadakan sidang pada bulan Maret 1973 yang menghasilkan beberapa
keputusan di antaranya sebagai berikut.
1) Tap IV /MPR /73 tentang Garis- garid Besar Haluan Negara sebagai pengganti Manipol.
2) Tap IX /MPR /73 tentang pemilihan Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI.
3) Tap XI /MPR /73 tentang pemilihan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Wakil Presiden RI.
1) Tap IV /MPR /73 tentang Garis- garid Besar Haluan Negara sebagai pengganti Manipol.
2) Tap IX /MPR /73 tentang pemilihan Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI.
3) Tap XI /MPR /73 tentang pemilihan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Wakil Presiden RI.
Dengan
demikian RI telah memiliki Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan amanat UUD
1945.
Pada
awal Orde Baru program pemerintah diarahkan untuk menyelamatkan ekonomi
nasional terutama upaya menekan inflasi, penyelamatan keuangan negara dan
pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang
menunjukkan tingkat inflasi 650 % setahun tidak memungkinkan pemerintah
untuk melaksanakan pembangunan dengan cepat akan tetapi harus melakukan
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi terlebih dahulu. Dengan stabilisasi untuk
menekan inflasi agar harga barang-barang tidak membumbung tinggi. Sedangkan
rehabilitasi untuk memperbaiki sarana dan prasarana fisik.
Program
“Pembangunan Nasional Berencana” yang dicanangkan Orde Baru dilaksankan secara
bertahap dan terencana melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Pelita I yang dimulai pada tanggal 1 April 1969 dengan tujuan untuk
meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi
pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai
adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja dan kesejahteraan rohani. Untuk membiayai pembangunan pada
Pelita I digali sumber- sumber keuangan dan tabungan pemerintah, kredit jangka
menengah dan jangkan panjang dari perbankan, penanaman modal dan reinvestasi
oleh perusahaan swasta nasional, perusahaan asing dan perusahaan negara serta
bantuan proyek luar negeri. Dengan melakukan pembangunan maka pada akhir Pelita
I yakni tanggal 31 Maret 1974 terjadi penigkatan dalam bidang ekonomi. Dalam
bidang pertanian terutama beras mengalami kenaikan rata- rata 4 % setahun.
Sedangkan produksi kayu rata-rata 37,4 % setahun. Kenaikan produksi beras
ini dikarenakan adanya perluasan areal pertanian dan terlaksananya program
Bimas dan Inmas serta dengan Panca Usaha Tani.
Selain
produksi beras, ekspor ikan dan udang juga mengalami peningkatan rata-rata
62 % setahun. Produksi industri juga mengalami kenaikan terutama pupuk
Pusri di Palembang dan mulai bekerjanya Petrokimia Gresik. Sedangkan industri
tekstil mengalami kemajuan pesat, baik dalam produksi benang tenun maupun bahan
tekstil. Benang tenun meningkat dari 177.000 bal pada awal Pelita I menjadi
316. 247 pada akhir Pelita I, sedangkan bahan tekstil dari 449, 8 juta menjadi
920 juta meter. Adapun grafik produksi beras, industri tekstil, hasil
pengolahan minyak maupun arus wisatawan ke Indonesia dalam kurun waktu Pelita I
adalah sebagai berikut.
a.
Grafik 14.1 Produksi Beras Tahun 1968-1973
b. Grafik 14.2 Industri Tekstil Tahun 1968-1973/1974
c. Grafik 14.3 Hasil Pengolahan Minyak Tahun 1968-1973
d. Grafik 14.4 Arus Wisatawan ke Indonesia Tahun 1968-1973
Pada Pelita II yang dimulai pada tanggal 1 April 1974 dalam
kegiatan ekonomi di Indonesia banyak menghadapi tantangan. Merosotnya kegiatan
ekonomi di negara-negara industri menyebabkan berkurangnya ekspor berbagai
hasil produksi Indonesia. Sementara itu inflasi yang terjadi di negara-negara
industri menyebabkan naiknya harga barang- barang modal yang diperlukan dalam
pembangunan. Walaupun banyak tantangan dalam kegiatan ekonomi Indonesia akan
tetapi secara keseluruhan dalam Pelita II pertumbuhan ekonomi rata-rata
mencapai 7 % setahun. Produksi tekstil meningkat dari 900 juta menjadi 1,3
milyar meter. Bila sebelum Pelita II Indonesia mengimpor pupuk urea maka pada
akhir Pelita II Indonesia berhasil mengekspor pupuk urea ke negara-negara ASEAN
terutama Filipina dan Muangthai. Sedangkan produksi semen juga meningkat dari
900 ribu ton menjadi 5 juta ton. Selanjutnya pada tahun 1983 /1984 (akhir Pelita
IV) ekonomi di Indonesia menunjukkan peningkatan, misalnya produksi beras pada
tahun 1973 mencapai 14, 61 juta ton sedangkan pada tahun 1983 /1984 meningkat
menjadi 25, 4 juta ton. Sedangkan produksi tekstil pada tahun 1973 mencapai
926, 7 juta meter dan pada tahun 1983 /1984 mencapai 2.347, 2 juta meter.
Dengan demikian pembangunan nasional pada waktu itu mengalami perkembangan.
C Berakhirnya Orde Baru: Krisis Ekonomi dan
Gerakan Reformasi
Perjalanan
sejarah Orde Baru yang panjang, Indonesia dapat melaksanakan pembangunan dan
mendapat kepercayaan dari dalam maupun luar negeri. Rakyat Indonesia yang
menderita sejak tahun 1960- an dapat meningkat kesejahteraannya. Akan tetapi
keberhasilan pembangunan pada waktu itu tidak merata karena terjadi kesenjangan
sosial ekonomi yang mencolok antara si kaya dan si miskin. Bahkan Orde Baru
ingin mempertahankan kekuasaannya terus menerus dengan berbagai cara. Hal ini
menimbulkan berbagai efek negatif. Berbagai bentuk penyelewengan terhadap
nilai- nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 itu disebabkan oleh adanya
tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sejak pertengahan tahun 1996
situasi politik di Indonesia memanas. Golongan Karya yang berkeinginan menjadi
mayoritas tunggal (Single Majority) mendapat tekanan dari masyarakat.
Masyarakat menuntut adanya perubahan di bidang politik, ekonomi, demokratisasi
dalam kehidupan sosial serta dihormatinya hak asasi manusia. Hasil Pemilihan
Umum 1997 yang dimenangkan Golkar dan menguasai DPR dan MPR banyak mengandung
unsur nepotisme. Terpilihnya Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden RI
banyak mendapat reaksi masyarakat. Sedangkan pembentukan Kabinet Pembangunan
VII dianggap berbau Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada
saat memanasnya gelombang aksi politik tersebut Indonesia dilanda krisis
ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 sebagai pengaruh krisis moneter yang
melanda wilayah Asia Tenggara. Harga-harga kebutuhan pokok dan bahan pangan
membumbung tinggi dan daya beli rakyat rendah. Para pekerja di perusahaan banyak
yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga semakin menambah
pengangguran. Hal ini diperparah lagi dengan tindakan para konglomerat yang
menyalahgunakan posisinya sebagai pelaku pembangunan ekonomi. Mereka menambah
hutang tanpa kontrol dari pemerintah dan masyarakat. Akibatnya perekonomian
mengalami krisis, nilai rupiah terhadap dollar merosot tajam hampir
Rp.15.000,00 per dollar AS. Perbankan kita menjadi bangkrut dan banyak yang
dilikuidasi. Pemerintah banyak mengeluarkan uang dana untuk Kredit Likuidasi
Bank Indonesia (KLBI) sehingga beban pemerintah sangat berat. Dengan demikian
kondisi ekonomi di Indonesia semakin parah.
Melihat kondisi bangsa Indonesia yang merosot di berbagai bidang
tersebut maka para mahasiswa mempelopori demonstrasi memprotes kebijakan
pemerintah Orde Baru dengan menentang berbagai praktek korupsi, kolusi
nepotisme (KKN). Kemarahan rakyat terhadap pemerintah memuncak pada bulan Mei
1998 dengan menuntut diadakannya reformasi atau perubahan di segala bidang baik
bidang politik, ekonomi maupun hukum. Gerakan reformasi ini merupakan gerakan
untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru yang telah mengendalikan pemerintahan
selama 32 tahun. Pada awal Maret 1998 Kabinet Pembangunan VIII dilantik, akan
tetapi kabinet ini tidak membawa perubahan ke arah kemajuan. Oleh karena itu
rakyat menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik di berbagai bidang
kehidupan baik bidang politik, ekonomi, hukum maupun sosial budaya. Pada awal
Mei 1998 mahasiswa mempelopori unjuk rasa menuntut dihapuskannya KKN, penurunan
harga-harga kebutuhan pokok, dan Soeharto turun dari jabatan Presiden. Ketika
para mahasiswa melakukan demonstrasi pada tanggal 12 Mei 1998 terjadilah
bentrokan dengan aparat kemananan. Dalam peristiwa ini beberapa mahasiswa
Trisakti cidera dan bahkan tewas. Di antara mahasiswa Trisakti yang tewas
adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan.
Pada
tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massa dengan
membakar pusat-pusat pertokoan dan melakukan penjarahan. Pada tanggal 19 Mei
1998 puluhan ribu mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR. Mereka menuntut Soeharto
turun dari jabatan presiden akan tetapi Presiden Soeharto hanya hanya
mereshufle kabinet. Hal ini tidak menyurutkan tuntutan dari masyarakat. Pada
tanggal 20 Mei 1998 Soeharto memanggil tokoh-tokoh masyarakat untuk memperbaiki
keadaan dengan membentuk Kabinet Reformasi yang akan dipimpin oleh Soeharto
sendiri. Tokoh-tokoh masyarakat tidak menanggapi usul Soeharto tersebut.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya
kepada wakilnya, B.J. Habibie. Selanjutnya B.J. Habibie dilantik sebagai
Presiden RI menggantikan Soeharto. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie
kehidupan politik mengalami perubahan, kebebasan berserikat telah dibuka
terbukti banyak berdiri partai politik. Pada bulan November 1998 dilaksanakan
Sidang Istimewa MPR yang menghasilkan beberapa keputusan di antaranya adalah
tentang pelilihan umum secepatnya. Selanjutnya Pemilihan Umum setelah berakhirnya
Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1998 yang diikuti oleh 48 partai
politik. Pada Pemilu kali ini suara terbanyak diraih oleh Partai Demokrasi
Perjuangan (PDIP). Dalam Sidang Umum MPR yang dilaksanakan pada bulan Oktober
1999 terpilihlah K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dan Megawati
Sukarno Putri sebagai Wakil Presiden.
Masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tidak berlangsung lama dan diwarnai
pertentangan dengan lembaga legislatif. Karena keadaan dianggap membahayakan
keselamatan negara maka MPR mengadakan Sidang Istimewa pada tanggal 21 Juli
2001. Hasil sidang tersebut memutuskan memberhentikan Presiden Abdurrahman
sebagai Presiden dan melantik Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden
Indonesia. Masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri hingga pemilihan umum
yang direncanakan pada tahun 2004. Kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri
didampingi oleh Hamzah Haz yang terpilih sebagai voting (pemungutan suara).
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati ada kemajuan dari luar maupun dari
dalam negeri. Akan tetapi dengan adanya kesulitan ekonomi sejak tahun 1997,
pada masa pemerintahan ini belum bisa memulihkan keadaan seperti sebelum krisis
ekonomi. Masa pemerintahan Presiden Megawati berakhir sampai diselenggarakannya
Pemilihan Umum tahun 2004. Pada tanggal 5 April 2004 dilaksanakan pemilihan
umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pusat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah pada tingkat propinsi dan pada tingkat kota atau kabupaten.
Adapun hasil pemilu legislatif pada tingkat pusat sebagai berikut.
Tabel
14.1 Perolehan Suara Pemilu 2004
Pemilihan Umum untuk memilih presiden secara langsung dilaksanakan
dua kali putara. Putaran pertama pada tanggal 5 Juli 2004 dan putaran kedua
pada tanggal 20 September 2004. Terpilih sebagai presiden adalah Susilo Bambang
Yudhoyono dan sebagai wakil presiden Jusuf Kalla. Pemilihan Presiden dan wakil
presiden oleh rakyat secara langsung ini merupakan pertama kali dalam sejarah
di Indonesia. Sistem ini merupakan salah satu hasil dari gerakan reformasi di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar